Sabtu, 05 Maret 2011

TEORI SOSIOLOGI KLASIK

                         TEORI SOSIOLOGI KLASIK

Mempelajari ilmu sosiologi tidak akan dapat terlepas pula dari mempelajari mata kuliah teori sosiologi baik yang klasik maupun yang modern. Dengan demikian Anda sebagai mahasiswa sosiologi mempunyai kewajiban untuk mempelajari dan juga memahami tentang landasan teori dari konsep-konsep sosiologi yang sudah dan yang akan Anda pelajari dalam mata kuliah-mata kuliah lainnya.
Mata kuliah Teori Sosiologi Klasik ini merupakan dasar untuk mempelajari mata kuliah Teori Sosiologi Modern, karena pemikiran dari para tokoh yang dikategorikan dalam teori sosiologi klasik banyak mempengaruhi bahkan menjadi dasar berpijak dari munculnya teori-teori dari para tokoh yang kemudian dikategorikan dalam teori sosiologi modern. Pemikiran-pemikiran serta konsep-konsep para tokoh sosiologi klasik dapat dikatakan sampai kapan pun akan terus menjadi payung dari munculnya teori-teori baru di kemudian hari, atau dapat juga dikatakan sosiologi klasik itu tidak akan pernah hilang dari khasanah perkembangan ilmu sosiologi.
Dalam teori sosiologi klasik akan dibahas latar belakang dari perkembangan teori sosiologi dan riwayat hidup dari para tokoh sosiologi klasik serta pemikiran-pemikiran mereka. Berawal dari modul pertama pembahasan akan mengetengahkan materi tentang teori sosial dalam konteks sosiologi kemudian dilanjutkan dengan materi tentang sejarah teori sosiologi klasik yang akan dikemukakan pada modul kedua. Sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terjadi pada abad ke-20 maka teori sosiologi pun juga mengalami perkembangan, dimana akan dibahas tentang teori sosiologi menjelang abad ke-20 dan perkembangannya setelah pertengahan abad ke-20, semua itu akan dijelaskan pada modul ketiga.
Agar Anda dapat mengetahui secara lebih jelas tentang tokoh sosiologi klasik maka pada modul-modul berikutnya yang dimulai dari modul empat sampai modul dua belas, akan disajikan pembahasan tentang tokoh-tokoh dari teori sosiologi klasik. Pembahasan akan berawal dari Auguste Comte, Hebert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Georg Simmel, Karl Mannheim, Robert Ezra Park, dan juga Alfred Schutz . Setiap pembahasan akan diuraikan tentang riwayat hidup masing-masing tokoh, yang kemudian dilanjutkan pula tentang pemikiran teoritis mereka masing-masing.
Para sosiolog Amerika awal beraliran politik liberal dan tidak konservatif seperti kebanyakan teoritisi Eropa awal. Menurut Schwendinger dan Schwendinger (1974) menyatakan bahwa teori sosiologi Amerika awal membantu merasionalkan eksploitasi, imperialisme domestik dan internasional, serta ketimpangan sosial. Dengan demikian, liberalisme politik sosiolog awal ini mengandung implikasi konservatif yang sangat besar.Beberapa faktor yang berperan penting dalam perkembangan teori Amerika adalah industrialisasi dan urbanisasi. Roescoe Hinkle (1980) dan E. Fuhrman (1980) melukiskan beberapa konteks dasar yang mendorong bangunan teori yang menyangkut perubahan sosial. Sementara Arthur Vidich dan Stanford Lyman (1985) menunjukkan besarnya pengaruh Kristen, terutama ajaran Protestan, terhadap kemunculan sosiologi Amerika. Menurutnya, sosiologi merupakan �respon moral dan intelektual terhadap masalah kehidupan dan terhadap pemikiran lembaga dan keyakinan orang Amerika�Ciri lain sosiologi Amerika awal adaah berpaling dari perspektif historis dan searah dengan orientasi positivistik atau �ilmiah�. Sosiolog Amerika lebih cenderung mengarah pada upaya studi ilmiah terhadap proses-proses sosial jangka pendek daripada membuat interpretasi perubahan historis jangka panjang. Kebanyakan teoritisi Eropa menciptakan teori sosiologi, sedangkan teoritisi Amerika memanfaatkan landasan teoritis yang sudah disediakan itu.Berikut tokoh-tokoh yang secara historis berpengaruh terhadap teori sosiologi:Spencer (1820-1903). Spencer lebih berpengaruh terhadap sosiologi Amerika awal dikarenakan Spencer menulis dalam bahasa Inggris, sedangkn teoritisi lain tidak. Selain itu ia menulis dalam pengertian nonteknis yang menyebabkan karyanya mudah diterima oleh kalangan yang lebih luas. Teorinya bersifat menerangkan bagi masyarakat yang tengan menjalani proses industrialisasi.
William Graham Sumner (1840-1910). Pada dasarnya ia menganut pemikiran survival of the fittest dalam memahami dunia sosial. Seperti Spencer, ia melihat manusia berjuang melawan lingkungannya dan yang paling kuatlah yang akan berhasil mempertahankan hidupnya. Sistem teoritis ini cocok dengan perkembangan kapitalisme karena menyediakan legitimasi teoritis bagi ketimpangan kekuasaan dan kekayaan yang ada.
Lester F. Ward (1841-1913). Ward menerima gagasan bahwa manusia berkembang dari bentuk yang lebih rendah ke statusnya yang seperti sekarang. Ia yakin bahwa masyarakat kuno ditandai oleh kesederhanaan dan kemiskinan moral, sedangkan masyarakat modern lebih kompleks, lebih bahagia dan mendapatkan kebebasan lebih besar. Menurutnya, sosiologi tidak hanya bertugas meneliti kehidupan sosial saja, tetapi harus pula menjadi lmu terapan. Sosiologi terapan ini meliputi kesadaran yang menggunakan pengetahuan ilmiah untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Thorstein Veblen (1857-1929). Arti penting gagasannya terdapat dalam bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class (1899/1994) memfokuskan pada konsumsi, bukannya produksi. Jadi karya ini mengantisipasi pergeseran dalam teori sosiologi dewasa ini yang berpindah dari fokus produksi menuju fokus konsumsi.Aliran ChicagoAlbion Small (1848-1926). Pendiri Jurusan Sosiologi Universitas Chicago tahun 1892. Pendapatnya mengarah kepada pandangan bahwa sosiologi harus memusatkan perhatian pada reformasi sosial dan pandangan ini digabungkan dengan keyakinan bahwa sosiologi haruslah selalu ilmiah.W.I. Thomas (1863-1947). Pernyataan utamanya mucul pada tahun 1918 dengan diterbitkannya hasil riset ilmiah bersama Florian Znaniecki berjudul The Polish Peasant in Europe and America. Martin Bulmer melihatnya sebagai studi “landmark“ karena hasil studinya itu �memindahkan sosiologi dari teori abstrak dan riset kepustakaan ke studi dunia empiris dengan menggunakan sebuah kerangka teoritis. Selain itu terdapat juga pernyataan psikologi sosialnya yang paling terkenal adalah: “Bila manusia mendefinisikan situasi sebagai nyata, maka akibatnya adalah nyata.“ Penekanannya adalah pada arti penting apa yang dipikirkan orang dan bagaimana pikirannya itu mempengaruhi apa yang mereka kerjakan. Sasaran perhatian psikologi sosial mikroskopik ini bertolak belakang dengan sasaran perhatian perspektif struktur sosial dan kultural pemikir Eropa seperti Marx, Weber, dan Durkheim. Inilah salah satu ciri khas produk teoritis aliran Chicago – interaksionisme simbolik.Robert Park (1864-1944). Ia mengembangkan minat yang besar dari aliran Chicago terhadap ekologi urban. Bersama Ernest W. Burgess, 1921, ia menerbitkan buku ajar sosiologi pertama yang berjudul An Introduction to The Science of Sociology.
Charles Horton Cooley (1864-1929). Ia mempelajari tentang aspek psikologi sosial dari kehidupan sosial. Cooley menekuni tentang kesadaran. Yang terkenal adalah konsep cermin diri (the looking glass self), yang menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran dan kesadaran itu terbentuk dalam interaksi sosial yang berlanjut. Selain itu adalah konsep kelompok primer, yakni kelompok yang hubungan antara anggotanya sangat akrab dan bertatap muka dalam arti saling mengenal kepribadian masing-masing. Baik Cooley maupun Mead menolak pandangan behavioristik tentang manusia, pandangan yang menyatakan manusia (individu) memberikan respon secara membabi buta dan tanpa kesadaran terhadap rangsangan dari luar. Ia menganjurkan sosiolog mencoba menempatkan diri di tempat aktor yang diteliti dengan menggunakan metode introspeksi simpatetik untuk menganalisis kesadaran itu. Sosiologi seharusnya memusatkan perhatian pada fenomena psikologi sosial seperti kesadaran, tindakan, dan interaksi.
George Herbert Mead (1863-1931). Pemikiran Mead perlu dilihat dalam konteks behaviorisme psikologi tentang pemusatan perhatian pada aktor dan perilakunya. Setelah kematian Mead dan pindahnya Park, mulai memudar Sosiologi Chicago.
Selain itu, sekelompok wanita juga membentuk organisasi reformasi sosial serta mengembangkan teori sosiologi rintisan. Diantara wanita itu adalah Jane Adams (1860-1935), C. P. Gilman (1860-1935), A. J. Cooper (1858-1964), Ida W. Barnett (1862-1931), Marianne Weber (1870-1954) dan B.P. Webb (1858-1943). Ciri-ciri utama teori mereka yang sebagian dapat menjelaskan bahwa teori itu mereka kemukakan dalam rangka upaya membangun sosiologi profesional. Karena perkembangan disiplin sosiologi meminggirkan sosiolog dan teoritisi sosiologi wanita, metode riset mereka sering dipadukan dengan praktik yang mereka lakukan sendiri, dan aktivitas para wanita itu dijadikan sebagai alasan untuk menetapkan mereka sebagai �bukan sosiolog�.
W.E.B. Du Bois (1868-1963) dan Teori Ras. Ia tertarik pada ide-ide abstrak demi melayani hak-hak sipil, terutama untuk orang-orang Afrika Amerika. Studinya, The Philadelphia Negro (1899/1996), terhadap tujuh distrik di Philadelphia dan terkenal sebagai etnografi rintisan. Teorinya yang terkenal The Soul of Black Folk serta veil (selubung) yang menciptakan separasi yang jelas antara orang Afrika-Amerika dan kulit putih. Selain itu teori kesadaran ganda (double conciousness), perasaan akan “ke-dua-an� atau perasaan di pihak Afrika-Amerika yang melihat dan mengukur diri sendiri melalui mata orang lain.
Teori Sosiologi Hingga Pertengahan Abad 20
Pitirim Sorokin (1889-1968). Ia mendirikan jurusan sosiologi di Harvard dan mengangkat Talcot Parsons sebagai instruktur sosiologi.
Talcot Parsons (1902-1979). Pada tahun 1937, ia menerbitkan buku yang berjudul The Structure of Social Action. Buku ini penting karena: pertama, memperkenalkan teori-teori besar Eropa ke kalangan luas di Amerika. Kedua, Ia memusatkan perhatian pada karya Durkheim, Weber,dan Pareto. Ketiga, menjadi tonggak penyusunan teori sosiologi sebagai kegiatan sosiologi yang penting dan sah. Keempat, Ia menekankan penyusunan teori sosiologi khusus yang telah berpengaruh besar terhadap sosiologi. Ia lebih memusatkan perhatianpada sistem sosial dan fungsionalis struktural. Kekuatannya terletak pada hubungan antara struktur sosial berskala besar dan pranata sosial. Buku lainnya berjudul The Social System(1951), berkonsentrasi pada struktur masyarakat dan pada antarhubungan berbagai struktur itu. Perubahan dipandang sebagai proses yang teratur dan Parsons akhirnya menerima pemikiran neorevolusioner tentang perubahan sosial.
George Homans (1910-1989). Ia mencetuskan teori Pareto dan kemudian dijadikan buku yang bejudul An Introduction to Pareto (ditulis bersama Charles Curtis) tahun 1934. Selain itu, ia mengemukakan teori behaviorisme psikologi. Berdasarkan perspektif ini, ia membangun teori pertukaran.Di sini Harvard dan produk teoritis utamanya, fungsionalisme struktural, menjadi dominan dalam sosiologi di akhir tahun 1930-an dan menggantikan aliran Chicago dan interaksionisme simbolik.Herbert Blumer (1900-1987). Ia menciptakan ungkapan symbolic interactionism pada tahun 1937.Pada tahun 1900-an hingga 1930-an teori Marxian berkembang, disertai kemunculan aliran kritis atau aliran Frankfurt. Teori kritis menggabungkan pemikiran Marx dan Weber yang menciprakan istilah �Marxisme Weberian�. Aliran ini menggunakan teknik penelitian ilmiah yang dikembangkan oleh sosiolog Amerika untuk meriset masalah minat terhadap pemikiran Marxis. Teoritisi kritis berupaya menyatukan teori yang berorientasi Freudian dengan pemikiran Marx dan Weber di tingkat sosialdan kultural.Karl Manheim (1893-1947). Ia terkenal karena membedakan antara dua sistem gagasan – ideologi dan utopia. Ideologi adalah sistem gagasan yang mencoba menyembunyikan dan melestarikan keadaan kini dengan menginterpretasikannya dari sudut pandang masa lalu. Sebaliknya, utopia adalah sistem gagasan yang mencoba melampaui keadaan kini dengan memusatkan perhatian pada masa datang.Teori Sosiologi dari Pertengahan Abad 20Era 1940-an dan 1950-an adalah tahun paradoks antara puncak dominasi dan awal kemerosotan fungsionalisme struktural.George Huaco (1986) mengaitkan pertumbuhan dan kemerosotan fungsionalisme struktural dengan posisi masyarakat Amerika dalam tatanan dunia.C. Wright Mills (1916-1962). Ia menerbitkan dua karya utama: pertama, White Collar yakni pekerja berkerah putih. Kedua, The Power Elite (1956) merupakan buku yang menunjukkan betapa Amerika didominasi oleh sekelompok kecil pengusaha, politisi dan pimpinan tentara. Selain itu, ia menerbitkan buku yang berjudul The Sosiological Imagination (1959). Buku ini mengandung kritikan keras Mills terhadap Parsons dan terhadap praktik teori besarnya.
Dahrendorf . Karya utamanya Class and Class Conflict in Indutrial Society (1959) berpengaruh dalam teori konflik karena banyak menggunakan logika struktural-fungsional yang memang sesuai dengan logika sosiolog aliran utama.
George Homans (1910-1989). Lahirnya teori pertukaran dan ia menggunakan pendekatan behaviorisme paikologi Skinner. Ia menerbitkan buku Social Behavior: Its Elementary Forms. Menurutnya jantung sosiologi terletak dalam studi interaksi dan perilaku individual. Perhatian utamanya lebih tertuju pada pola-pola penguatan (reinforcement), sejarah imbalan (reward), dan biaya (cost) yang menyebabkan orang melakukan apa-apa yang mereka lakukan.
Erving Goffman (1922-1982). Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everiday Life, diterbitkan tahun 1959. Menurutnya interaksi dilihat sangat rapuh, dipertahankan oleh kinerja sosial. Kinerja sosial yang buruk atau kacau merupakan ancaman besar terhadap interaksi sosial sebagaimana yang terjadi pada pertunjukan teater.Alfred Schutz (1899-1959). Ia memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam aliran kesadaran mereka sendiri. Ia juga menggunakan perspektif intersubjektivitas dalam pengertian lebih luas untuk memahami kehidupan sosial, terutama mengenai ciri sosial pengetahuan. Secara keseluruhan Schutz memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara individu membangun realitas sosial dan realitas kultural yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dalam dunia sosial.Bila para sosiolog fenomenologi cenderung memusatkan perhatian pada apa yang dipikirkan orang, sosiolog etnometodologi mencurahkan perhatian pada studi terinci tentang percakapan orang. Etnometodologi pada dasarnya adalah studi tentang kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dapat dipahami anggota masyarakat biasa dan yang mereka jadikan sebagai landasan untuk bertindak.Akhir 1960-an ditandai perkembangan teori Marxian dalam teori sosiologi Amerika. Dan berawal di penghujung 1970-an, muncul teori baru yang menantang teori sosiologi yang sudah mapan – dan bahkan menantang sosiologi Marxian sendiri. Cabang pemikiran sosial radikal terakhir inilah yang dimaksud dengan teori feminis kontemporer. Teori feminis melihat dunia dari sudut pandang wanita untuk menemukan cara yang signifikan, tetapi tak diakui dimana aktivitas wanita – yang disubordinasikan berdasarkan jender dan dipengaruhi oleh berbagai praktik stratifikasi seperti kelas, ras, umur, heteroseksual yang dipaksakan, dan ketimpangan geososial – membantu menciptakan dunia. Teori ini berinteraksi dengan perkembangan aliran post-strukturalis dan post-modern. Ketika strukturalisme tumbuh di dalam sosiologi, di luar sosiologi berkembang pula post-strukturalisme.Michael Foucault (1926-1984). Ia memusatkan perhatian pada struktur, tetapi kemudian ia beralih keluar struktur, memusatkan perhatian pada kekuasaan dan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan.Perkembangan Terkini dalam Teori SosiologiBanyak karya dalam teori sosiologi Amerika yang memusatkan perhatian pada hubungan antara teori-teori mikro dan makro serta menyatukan antara berbagai tingkat analisis. Ada empat tingkatan utama analisis sosial yang harus dijelaskan menurut cara yang terintegrasi: subjektivitas makro, objektivitas makro, subjektivitas mikro, dan objektivitas mikro.Sejalan dengan pertumbuhan minat terhadap analisis integrasi mikro-makro di Amerika, di Eropa orang memusatkan perhatian pada analisis integrasi agen-struktur. Ada empat upaya analisis utama dalam teori sosial Eropa masa kini yang dapat dihimpun:
  • Teori strukturisasi Anthony Gidden (1984), melihat agen dan struktur sebagai dualitas, artinya keduanya dapat dipisahkan satu sama lain.
  • Margaret Archer (1982) menolak pendapat yang menyatakan agen dan struktur dapat dipandang sebagai dualitas, tetapi lebih melihatnya sebagai dualisme.
  • Piere Bourdieu dalam bukunya, masalah agen-struktur diterjemahkan menjadi pemusatan perhatian terhadap hubungan antara habitus dan bidang atau lapangan (field).
  • Jurgen Habermas menjelaskan masalah agen-struktur di bawah judul â€?kolonisasi kehidupan-duniaâ€?.Gerakan di atas membuka jalan untuk gerakan lebih luas menuju sintesis teoritis yang dimulai sekitar awal tahun 1990-an. Terdapat dua aspek khusus karya sistesis baru dalam teori sosiologi. Pertama, sintesis yang sangat luas dan tak terbatas pada upaya sintesis yang terpisah. Kedua, sintesis yang bertujuan menyintesiskan pemikiran teoritisi yang relatif sempit dan tidak mengembangkan teori sintesis besar yang meliputi semua teori sosiologi.Semua teoritisi klasik besar (Max, Weber, Durkheim, dan Simmel) memikirkan dunia modern.
  • Anthony Giddens menggunakan istilah seperti modernitas â€?radikalâ€? atau â€?tinggiâ€?. Ia melihat modernitas sekarang sebagai â€?juggernautâ€? yang lepas kontrol.
Menurut Ulrich Beck (1992), modernitas yang baru muncul ini paling tepat dilukiskan sebagai �masyarakat berisiko�. Jurgen Habermas melihat modernitas sebagai proyek yang belum selesai. Sedangkan post-modernitas adalah sejarah baru yang dianggp telah menggantikan era modern atau modernitas. Teori sosial post-modern adalah cara berpikir baru tentang post-modernitas; dunia sudah demikian berbeda sehingga memerlukan cara berpikir yang sama sekali baru.Teori-teori yang Perlu Diperhatikan di Awal Abad 21Teori Sosial MultikulturalKarakteristik teori multikultural adalah:
  • Penolakan terhadap teori universalistik yang cenderung mendukung pihak yang kuat; teori multikultural berupaya memberdayakan pihak yang lemah.
  • Teori multikultural mencoba menjadi inklusif, menawarkan teori atas nama kelompok-kelompok lemah.
  • Teoritisi multikultural tidak bebas nilai; mereka sering menyusun teori atas nama pihak lemah dan bekerja di dunia sosial untuk mengubah struktur sosial, kultur dan prospek untuk individu.
  • Teoritisi multikultural tidak hanya berusaha mengganggu dunia sosial tetapi juga dunia intelektual; mereka mencoba menjadikannya lebih terbuka dan beragam.
  • Tidak ada usaha untuk menarik garis yang jelas antara teori dan tipe narasi lainnya.
  • Teori multikultural sangat kritis; kritik itu adalah kritik terhadap diri dan kritik terhadap teoritisi lain serta terhadap dunia sosial.
  • Teoritisi multikultural mengakui bahwa karya mereka dibatasi oleh sejarah tertentu, konteks kultural dan sosial tertentu, dimana mereka pernah hidup dalam konteks tersebut.
Teori Sosial Post-ModernTeori ini cenderung mendefinisikan masyarakat post-modern sebagai masyarakat konsumen, dengan akibat bahwa konsumsi memainkan peran penting dalam teori itu.Teori Konsumsi
Terdapat peningkatan dalam karya teoritis tentang konsumsi. Sebagai contoh karya teoritis yang didasarkan pada setting dimana kita mengonsumsi, misalnya Consuming Places (Urry, 1995), Enchanting a Disechanted World: Revolutionizing the Means of Consumption (Humphery, 1998).
Teori Aktor-Jaringan
Teori ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan post-strukturalisme.Teori GlobalisasiTeori ini muncul karena semakin mengglobalnya dunia sosial.Jadi, karena dunia sosial (dan intelektual) terus-menerus berubah, kita dapat mengantisipasi aliran perkembangan teori baru yang didesain untuk menjelaskan dan menangani perubahan-perubahan tersebut.

Pengantar Sosiologi

                                                    PENGANTAR SOSIOLOGI
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial. Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comtetahun 1842. Sehingga Comte dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Selanjutnya Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology pada tahun 1876. Di Amerika Lester F.Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
Pengertian.
Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.
Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.
Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu adalah :
  1. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
  2. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
  3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.oe
Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.
  • Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
  • Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
  • Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.
  • Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.
Definisi Sosiologi
Berikut ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli.
  • Pitirim Sorokin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
  • Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
  • William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
  • J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
  • Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
  • Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
  • Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
  • Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
  • William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
  • Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
Pokok Bahasan Sosiologi.
  • Fakta sosial
Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).
  • Tindakan sosial
Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.
  • Khayalan sosiologis
Khayalan sosiologis diperlukan untuk dapat memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya.
Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah troubles dan issues. Troubles adalah permasalahan pribadi individu dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Issues merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah trouble. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan issue, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
  • Realitas sosial
Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.
Perkembangan Sosiologi dari Abad ke Abad

Perkembangan pada abad pencerahan

Banyak ilmuwan-ilmuwan besar pada zaman dahulu, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah, masyarakat mengalami perkembangan dan kemunduran.
Pendapat itu kemudian ditegaskan lagi oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas. Mereka berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi dengan masyarakatnya. Pertanyaan dan pertanggungjawaban ilmiah tentang perubahan masyarakat belum terpikirkan pada masa ini.
Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.
Popularity: 24% [?]

sistem politik indonesia

                                                     SISTEM POLITIK INDONESIA
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
PENDEKATAN DALAM ANALISIS SISTEM POLITIK
Analisis Sistem Politik Menurut David Easton

Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan mengacu pada pendekatan yang terdapat dalam ilmu eksakta. Adapun untuk membedakan sistem politik dengan sistem yang lain maka dapat dilihat dari definisi politik itu sendiri. Sebagai suatu sistem, sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas antara sistem politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan sistem politik. Namun demikian, batas akan dapat dilihat apabila kita dapat memahami tindakan politik sebagai sebuah tindakan yang ingin berkaitan dengan pembuatan keputusan yang menyangkut publik.
Perbedaan sistem politik dengan sistem yang lain, tidak menjadikan jurang pemisah antara sistem politik dengan sistem yang lain. Sebuah sistem dapat menjadi input bagi sistem yang lain.
Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja antaranggotanya. Pembagian kerja yang ada tidak akan menghancurkan sistem politik karena ada fungsi integratif dalam sistem politik.
Input, Output, dan Lingkungan dalam Sistem Politik

Input dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu tuntutan dan dukungan. Input yang berupa tuntutan muncul sebagai konsekuensi dari kelangkaan atas berbagai sumber-sumber yang langka dalam masyarakat (kebutuhan). Input tidak akan sampai (masuk) secara baik dalam sistem politik jika tidak terorganisir secara baik. Oleh sebab itu komunikasi politik menjadi bagian penting dalam hal ini. Terdapat perbedaan tipe komunikasi politik di negara yang demokratis dengan negara yang nondemokratis. Tipe komunikasi politik ini pula yang nantinya akan membedakan besarnya peranan dari organisasi politik.
Output merupakan keputusan otoritatif (yang mengikat) dalam menjawab dan memenuhi input yang masuk. Output sering dimanfaatkan sebagai mekanisme dukungan dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan yang muncul.
Lingkungan mempunyai peranan penting berupa input, baik tuntutan ataupun dukungan. Kemampuan anggota sistem politik dalam mengelola dan menanggapi desakan ataupun pengaruh lingkungan bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri. Lingkungan merupakan semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem politik. Secara garis besar, lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam (intra societal) dan lingkungan luar (extra societal).
Setidaknya ada dua kritik yang dilontarkan atas gagasan Easton, yaitu adanya anggapan bahwa pemikiran Easton terlalu teoretis sehingga sulit untuk diaplikasikan secara nyata. Selain terlalu teoretis, pemikiran Easton dianggap tidak netral karena hanya mengedepankan nilai-nilai liberal Barat dengan tanpa memperhatikan kondisi pada masyarakat yang sedang berkembang.
Pendekatan Struktural Fungsional Gabriel Almond
Pendekatan struktural fungsional merupakan alat analisis dalam mempelajari sistem politik, pada awalnya adalah pengembangan dari teori struktural fungsional dalam sosiologi. Dalam pendekatan ini, sistem politik merupakan kumpulan dari peranan-peranan yang saling berinteraksi. Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya). Semua sistem politik memiliki persamaan karena sifat universalitas dari struktur dan fungsi politik. Mengenai fungsi politik ini, Almond membaginya dalam dua jenis, fungsi input dan output.
Terkait dengan hubungannya dengan lingkungan, perspektif yang digunakan adalah ekologis. Keuntungan dari perspektif ekologis ini adalah dapat mengarahkan perhatian kita pada isu politik yang lebih luas. Agar dapat membuat penilaian yang objektif maka kita harus menempatkan sistem politik dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan guna mengetahui bagaimana lingkungan-lingkungan membatasi atau membantu dilakukannya sebuah pilihan politik. Sifat saling bergantung bukan hanya dalam hubungan antara kebijaksanaan dengan sarana-sarana institusional saja, namun lembaga-lembaga atau bagian dari sistem politik tersebut juga saling bergantung. Untuk dapat mengatasi pengaruh lingkungan, Almond menyebutkan enam kategori kapabilitas sistem politik, yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, kapabilitas domestik dan internasional.
Analisis Struktural Fungsional dalam Sistem Politik
Menurut Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi, dan badan peradilan. Dengan melihat keenam struktur dalam setiap sistem politik, kita dapat membandingkan suatu sistem politik dengan sistem politik yang lain. Hanya saja, perbandingan keenam struktur tersebut tidak terlalu membantu kita apabila tidak disertai dengan penelusuran dan pemahaman yang lebih jauh dari bekerjanya sistem politik tersebut.
Suatu analisis struktur menunjukkan jumlah partai politik, dewan yang terdapat dalam parlemen, sistem pemerintahan terpusat atau federal, bagaimana eksekutif, legislatif, dan yudikatif diorganisir dan secara formal dihubungkan satu dengan yang lain. Adapun analisis fungsional menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut berinteraksi untuk menghasilkan dan melaksanakan suatu kebijakan.
Input yang masuk dalam sistem politik disalurkan oleh lembaga politik, kemudian akan menghasilkan output, berupa keputusan yang sah dan mengikat yang sebelumnya melalui proses konversi. Dalam konversi terjadi interaksi antara faktor-faktor politik, baik yang bersifat individu, kelompok ataupun organisasi. Fungsi input, meliputi sosialisasi politik dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output, antara lain pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman kebijakan.
SOSIALISASI, BUDAYA POLITIK DI INDONESIA, DAN EKONOMI POLITIK INDONESIA
Sosialisasi Politik di Indonesia
Dalam kegiatan belajar ini ada tiga hal yang dikemukakan. Pertama, mengenai pengertian sosialisasi politik. Kedua, mengenai proses sosialisasi politik di Indonesia, dan ketiga, mengenai agen-agen sosialisasi politik yang berperan dalam penyebaran nilai-nilai politik ke dalam masyarakat.
Pada bagian pertama dijelaskan mengenai proses sosialisasi secara umum, kemudian juga dibahas tahapan psikologi politik, dan juga tahapan sosialisasi politik. Setelah pembahasan sosialisasi politik di Indonesia juga dibahas mengenai agen-agen sosialisasi politik
Budaya Politik di Indonesia
Klasifikasi budaya politik oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, terdiri atas budaya politik parokial, budaya politik subjek/kaula, dan budaya politik partisipan. Sedangkan budaya politik menurut Austin Ranney dibedakan atas orientasi kognitif dan preferensi politik.
Ada beberapa unsur yang berpengaruh atau melibatkan diri dalam proses pembentukan budaya politik nasional, yaitu sebagai berikut.
1. Unsur sub-budaya politik yang berbentuk budaya politik asal.
2. Aneka rupa sub-budaya politik yang berasal dari luar lingkungan tempat budaya politik asal itu berada.
3. Budaya politik nasional itu sendiri.
Tahapan perkembangan budaya politik nasional menurut Sjamsuddin, antara lain sebagai berikut (Rahman, 1998: 58).
1. Budaya politik nasional yang tengah berada dalam proses pembentukannya.
2. Budaya politik nasional yang sedang mengalami proses pematangan. Dalam tahapan ini, pada dasarnya budaya politik nasional sudah ada, tetapi masih belum matang.
3. Budaya politik nasional yang sudah mapan, yaitu budaya politik yang telah diakui keberadaannya secara nasional.
4. Ada dua sudut pandang untuk melihat budaya politik yang dikaitkan dengan struktur sosial, yaitu secara vertikal maupun horizontal. Terakhir ada tiga kelompok yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap sistem politik Indonesia, yaitu kelompok agama, kelompok suku bangsa, dan kelompok ras.
Ekonomi Politik
Ilmu ekonomi politik mempelajari tentang hubungan timbal balik antara transaksi ekonomi dengan perilaku politik. Para ahli ekonomi politik melihat bahwa dalam hubungan antara negara dan pasar terdapat struktur atau anatomi, nilai-nilai, kebutuhan, dan kepentingan yang bervariasi, yang pada gilirannya dapat menimbulkan interaksi yang beragam antara negara dengan pasar. Penjelasan singkat di atas pada dasarnya memberikan gambaran bahwa pembagian sistem ekonomi ke dalam kapitalisme dan sosialisme merupakan penyederhanaan masalah (simplifikasi). Dalam praktiknya, sejumlah negara tertentu sulit untuk dapat dimasukkan ke dalam kategori kapitalisme maupun sosialisme. Di sinilah letak pentingnya studi tentang ekonomi politik, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai hubungan antara ekonomi dengan politik.
Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi di mana peranan negara di dalam ekonomi minimal, sebaliknya hampir seluruh solusi terhadap masalah ekonomi diserahkan kepada pasar. Sedangkan sosialisme merupakan sistem ekonomi di mana solusi terhadap permasalahan ekonomi seluruhnya atau sebagian besar diserahkan kepada negara. Dalam sistem sosialisme, sering kali sektor swasta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam sistem ekonomi, namun ruang geraknya dibatasi oleh ketentuan yang dibuat oleh negara sehingga peranannya di dalam proses produksi dan distribusi tidak dapat menjadi dominan sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Dalam konteks analisis sistem, ekonomi politik merupakan bagian dari lingkungan dalam yang mempengaruhi dinamika sistem politik. Interaksi antara ekonomi dan politik tidak terlepas dari proses input dan output di dalam sistem politik. Pengaruh ekonomi terhadap perilaku politik pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai bagian dari proses input dalam alur sistem politik. Sebaliknya, pengaruh politik terhadap ekonomi dapat dikategorikan sebagai proses output dalam alur sistem politik. Namun, dalam kasus di mana interaksi antara pelaku ekonomi dengan pejabat politik demikian erat dalam mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kepentingan ekonomi keduanya maka kajian ekonomi politik pun dapat meliputi bagian proses konversi dalam analisis sistem.
Dinamika Ekonomi Politik di Indonesia
Dinamika hubungan antara negara dengan pasar sejak Indonesia berdiri hingga era reformasi diwarnai oleh fluktuasi penguatan peran negara. Negara sempat memiliki pengaruh dominan di dalam sistem politik pada masa Demokrasi Terpimpin dan juga pada masa boom minyak semasa kepemimpinan Orde Baru. Di luar periode tersebut, pasar mampu mendorong negara membuat kebijakan yang memungkinkan akumulasi kapital yang cenderung lebih banyak menguntungkan para pemilik modal (investor). Kekuatan pasar yang luar biasa dalam menghadapi negara dapat ditemukan dalam kasus krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 hingga 1998.
PARTISIPASI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
Partisipasi Politik
Partisipasi politik oleh para sarjana di negara Barat sering hanya dipandang sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memberikan input bagi pengambil kebijakan menuruti aturan main yang berlaku. Definisi yang demikian membuat partisipasi politik di negara-negara berkembang sulit dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik. Untuk mengatasi hal tersebut, Huntington mencoba mengatasi dengan mengatakan bahwa partisipasi yang tergolong negatif di mata para sarjana di negara-negara berkembang pada dasarnya termasuk pula bentuk partisipasi politik. Kecenderungan mobilisasi di masyarakat negara-negara berkembang menjadi ciri khas yang melekat karena karakteristiknya yang khas selain tidak bekerjanya sistem politik secara baik untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat memberikan input tanpa takut diintimidasi oleh pemerintah.
Apatisme juga menjadi persoalan tersendiri dalam studi mengenai partisipasi politik. Secara harfiah apatisme tidak dapat dikatakan sebagai suatu bentuk partisipasi karena seseorang tidak melakukan tindakan apa pun untuk mempengaruhi kebijakan ataupun memberikan input bagi pengambil kebijakan. Akan tetapi, apabila itu dilakukan dengan sadar sebagai bentuk protes atau ketidaksukaan terhadap apa yang dilakukan oleh pengambil kebijaksanaan, tindakan apatisme dapat pula dikategorikan sebagai satu bentuk input dan dengan demikian dapat dinilai sebagai suatu tindakan partisipasi.
Perkembangan Partisipasi Politik di Indonesia
Partisipasi politik dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat di suatu negara. Masyarakat Indonesia yang memiliki karakteristik, seperti pendidikan rendah, ekonomi kurang baik dan kurang memiliki akses informasi membuat pola partisipasinya cenderung dimobilisasi. Karakteristik tersebut belum mendorong masyarakat untuk membangun suatu pola partisipasi yang mandiri. Sejak merdeka, elite-elite partai cenderung menggunakan cara-cara mobilisasi ataupun penetrasi ke masyarakat untuk mendukung partai politik tertentu. Demokrasi parlementer yang dinilai memiliki ruang publik dan kebebasan politik yang memadai juga ditandai dengan intervensi elite lokal maupun pusat untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pola semacam itu tidak berubah, ketika pemerintahan berganti menuju Orde Baru. Orde Baru mempergunakan pola-pola mobilisasi dan simbolisasi serta pemutusan hubungan masyarakat dengan kegiatan politik untuk mempertahankan kekuasaan dan menghindari kritik (input). Kemajuan ekonomi warisan Orde Baru dan kebebasan politik pada masa reformasi tidak serta merta merubah pola-pola semacam itu. Masyarakat perkotaan telah mengalami perubahan yang signifikan sehingga input masyarakat demikian kuat. Sebaliknya, masyarakat pedesaan masih memiliki keterbatasan yang membuatnya sulit mengembangkan partisipasi yang sukarela dan rasional. Walaupun demikian, beberapa studi yang dilakukan sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan pun telah memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya di dalam politik di tingkat lokal hingga nasional dengan cara pandangnya sendiri.
Pengertian, Fungsi, dan Tipe Pemilu
Setiap sistem Pemilu memiliki karakteristiknya masing-masing yang merupakan kelemahan ataupun kelebihan yang dimilikinya. Sistem Pemilu distrik misalnya memiliki asumsi dasar bahwa setiap pemenang Pemilu haruslah mereka yang mendapatkan dukungan pemilih lebih banyak dari lain (popular winner). Sistem ini banyak digunakan untuk pemilihan presiden/wakil presiden atau menentukan siapa yang berhak mewakili suatu daerah pemilihan tertentu di lembaga legislatif. Kekhawatiran bahwa akan terdapat banyak suara yang hilang atau tidak diperhitungkan memang menjadi persoalan mendasar dari sistem ini. Beberapa variasi sistem coba diperkenalkan, seperti absolute majority ataupun preferential ballot. Akan tetapi, dalam beberapa segi kelemahan ini masih terlihat walaupun dalam derajat yang semakin berkurang.
Sistem Pemilu proporsional memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap suara haruslah diperhitungkan. Dengan menggunakan asumsi tersebut, istilah pemenang sesungguhnya bukanlah mereka yang mengalahkan kontestan lainnya; melainkan peraih suara terbanyak karena selain mereka masih ada kontestan lainnya yang juga diperhitungkan perolehan suaranya walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Oleh karena itu, sistem proporsional ini lebih cocok untuk mencari wakil penduduk dan bukannya wilayah dan sering dipergunakan untuk negara-negara yang memiliki masyarakat yang cenderung plural. Derajat keterwakilan sistem ini relatif lebih baik, namun masih kalah oleh sistem distrik dalam hal kedekatan antara kontestan dengan pemilih. Beberapa variasi diperkenalkan oleh sistem ini untuk mengurangi kelemahan itu dengan mengambil beberapa prinsip sistem distrik dalam hal pemilih menentukan sendiri siapa kandidat yang disukainya di samping tanda gambar.
Pemilu-pemilu di Indonesia
Sebagai pemberi legitimasi, Pemilu Orde Baru memainkan peran yang sentral untuk keberlangsungan rezim. Sejak Pemilu 1971, Pemilu tidak lebih dari sekadar pemberi legitimasi bagi Golkar untuk mendorong Soeharto sebagai presiden. Untuk keperluan itu, hasil Pemilu dalam persepsi rezim, haruslah memberikan kemenangan yang cukup signifikan bagi Golkar agar mampu mengatur dukungan parlemen atas Soeharto menjadi presiden. Beberapa cara dipergunakan untuk tujuan tersebut di antaranya pemutusan hubungan partai dengan rakyat melalui kebijakan floating mass, deideologisasi partai, monoloyalitas pegawai negeri dan fusi partai. Selain itu, dukungan birokrasi dan militer turut memberikan andil bagi tingginya perolehan suara Golkar. Menurunnya dukungan kedua lembaga tersebut atau minimal mengarah kepada netral disinyalir menjadi salah satu penyebab menurunnya suara Golkar pada Pemilu 1999.
Selain itu, mekanisme pemilihan umum juga membuat dukungan terhadap dua partai lainnya tidak mampu memaksimalkan persaingan. Sempitnya waktu kampanye dan sosialisasi berdampak pada rendahnya akseptabilitas masyarakat terhadap keduanya. Selain itu, sistem daftar nama yang diterapkan juga lebih memperkuat peran partai dalam menentukan wakil partai di parlemen dibanding suara rakyat sendiri sehingga muncul kesan bahwa wakil rakyat hasil pemilihan tidaklah menjadi wakil rakyat melainkan wakil partai.
Rendahnya peran pemilih dalam menentukan wakil rakyat diubah dalam Pemilu 1999 sebagai Pemilu pertama yang menggantikan sistem Pemilu sebelumnya yang dianggap tidak memuaskan. Walaupun masih menggunakan daftar nama dan hanya memilih partai, penentuan wakil rakyat ditentukan oleh perolehan suara dari daerah asal seorang calon wakil rakyat. Cara ini diperbaiki lagi dalam Pemilu 2004 dengan mencantumkan nama di samping tanda gambar partai. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menentukan wakil yang lebih disukainya. Akan tetapi, sistem ini pun dinilai memiliki kelemahan di mana calon wakil rakyat harus mendapatkan BPP (bilangan pembagi pemilih) untuk dapat terpilih tanpa memperhatikan urutan nama di sebuah partai. Jika tidak terdapat calon yang mampu meraih BPP maka penentuan wakil rakyat didasarkan kepada nomor urut kembali. Di kemudian hari, kemungkinan untuk menghilangkan faktor BPP menjadi satu agenda yang penting agar wakil rakyat yang terpilih merupakan wakil rakyat yang paling populer (berdasarkan popular vote) dan tidak diwajibkan pula memilih tanda gambar partainya menjadi satu hal yang penting untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang lebih baik.
Perubahan lain yang signifikan adalah diselenggarakannya pemilihan langsung untuk menentukan siapakah yang menjadi presiden dan wakil presiden. Pemilihan langsung ini menggunakan sistem absolute majority dengan ketentuan bahwa pemenang haruslah pasangan yang memperoleh dukungan suara lebih dari 50%. Pemilihan dengan basis distrik ini juga diterapkan dalam pemilihan anggota DPD sebanyak empat orang dari setiap provinsinya.
PARTAI POLITIK, KELOMPOK KEPENTINGAN, DAN KELOMPOK PENEKANAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA
Partai Politik, Kelompok Kepentingan, dan Kelompok Penekanan dalam Sistem Politik Indonesia 1
Kegiatan belajar ini menerangkan, menguraikan serta menjelaskan beberapa pengertian umum mengenai kekuatan politik dalam suatu sistem politik. Pembahasan dalam modul ini difokuskan pada partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan. Pembahasannya dikaitkan dengan sistem demokrasi yang pernah dikembangkan di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga periode reformasi.
Partai politik merupakan struktur atau lembaga yang menyalurkan dan mengartikulasikan berbagai kepentingan (tuntutan dan aspirasi) yang berasal dari lingkungan masyarakat Indonesia ke dalam sistem politik. Kepentingan dan aspirasi yang diajukan partai politik tersebut merupakan energi bagi sistem politik untuk membuat pelbagai kebijaksanaan. Jika partai politik ikut dalam Pemilu untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan terutama dalam kaitannya dengan kekuasaan legislatif maka lain halnya dengan kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Kedua aktor politik ini berada di luar sistem politik dan juga tidak bisa mengikuti pemilu. Walaupun demikian, kelompok ini tidak bisa dipandang remeh dalam mempengaruhi proses pembuatan undang-undang dan juga pembuatan kebijakan.
Pada masa Revolusi Fisik (1945-1949), semua kekuatan politik yang ada diarahkan pada perjuangan untuk membebaskan seluruh wilayah Indonesia dari penjajahan. Sedangkan pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), kekuatan politik yang berupa partai politik yang berpengaruh telah melaksanakan peranannya dengan baik. Pada sistem parlementer, partai politik berperan aktif dan dinamis meskipun terdapat kelemahan berupa tidak dapat bertahannya pemerintahan koalisi yang berasal dari partai-partai. Sementara itu, peranan partai politik di masa Demokrasi Terpimpin jauh menurun jika dibandingkan pada masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena kekuasaan politik yang berada di tangan Presiden Soekarno. Penentangan terhadap kebijakan Soekarno dapat berakibat pada dibubarkannya partai politik atau dipenjarakannya para pemimpin partai tanpa proses pengadilan.
Partai Politik, Kelompok Kepentingan, dan Kelompok Penekanan dalam Sistem Politik Indonesia 2
Peranan partai politik di masa Demokrasi Pancasila tetap sama seperti pada masa Demokrasi Terpimpin. Partai politik hanya memiliki peranan yang kecil dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sedikitnya anggota partai politik dalam lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif. Bahkan pada Kabinet Pembangunan III sudah tidak ada lagi menteri yang berasal dari partai politik. Militer dan birokrat merupakan kelompok yang mendominasi jabatan menteri.
Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya peranan partai politik pada masa Demokrasi Pancasila adalah pendekatan ekonomi yang dipilih oleh Rezim Soeharto, diberlakukannya beberapa peraturan yang menyangkut kehidupan kepartaian, menguatnya peranan Golkar, dan juga konflik internal dalam tubuh partai politik.
Sementara itu, proses reformasi menimbulkan implikasi yang bermuara kepada satu hal bahwa publik memperoleh ruang bebas dalam mengekspresikan aspirasi dan kepentingannya. B.J. Habibie melontarkan soal kebijakan pembebasan pendirian partai-partai politik. B.J. Habibie menyatakan bahwa semua pihak boleh mendirikan partai baru asal tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tidak mempersoalkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Akibatnya terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti Pemilu 1999. Sedangkan untuk Pemilu 2004, jumlah partai politik peserta Pemilu menjadi hanya 24 partai politik.
Selain itu, pada tanggal 10 Agustus 2002, MPR berhasil mengamandemen UUD 1945 tahap keempat. Hasil amandemen itu berdampak pada eksistensi partai dan bahkan mampu menghadirkan fenomena “supremasi partai”, yaitu dominasi orang-orang partai hampir seluruh aspek bernegara dan bermasyarakat. Di sisi lain, peranan kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga kuat di era reformasi ini. Kelompok yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, pers, mahasiswa, buruh, petani, mendapatkan ruang yang leluasa untuk mengekspresikan pendapat serta memperjuangkan aspirasinya. Jadi, di era reformasi ini bukan hanya partai politik yang berada dalam lingkaran sistem politik yang memiliki peranan besar, namun juga kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga mengalami hal yang serupa.
LEMBAGA LEGISLATIF DI INDONESIA
Lembaga Legislatif di Indonesia 1
Dalam tatanan kenegaraan modern, praktik penyelenggaraan demokrasi dilakukan melalui sistem perwakilan. Amat janggal apabila seluruh warga negara berkumpul di suatu tempat, kemudian secara bersama-sama menggunakan haknya sebagai pemegang kedaulatan sejati untuk menyelenggarakan negara secara langsung. Indonesia yang memiliki luas yang besar ini bukanlah negara kota yang pernah melaksanakan demokrasi langsung. Lembaga perwakilan rakyat merupakan institusi final perwujudan kedaulatan rakyat tersebut.
Oleh karena itu, kita perlu memahami kedudukan lembaga legislatif dalam sistem politik Indonesia. Sejarah panjang lembaga legislatif di Indonesia berkali-kali memakai konstitusi yang berbeda-beda menurut “selera” elite politik yang berkuasa. Tidak jarang ditemukan lembaga legislatif yang sejajar dengan lembaga-lembaga politik negara yang ada. Tetapi pada suatu masa pernah terjadi lembaga legislatif berada di bawah satu lembaga politik negara. Untuk itu perlu juga dipelajari bagaimana kedudukan lembaga legislatif di Indonesia dikaitkan dengan kedudukan lembaga-lembaga politik yang lain, seperti presiden (eksekutif) dan MA (yudikatif). Hal ini menarik karena akan ditemui posisi kedudukan parlemen yang berbeda pada masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin berhadapan dengan lembaga-lembaga politik negara ketika itu. Bahkan juga hubungan parlemen Indonesia dengan para menteri.
Pembahasan lembaga legislatif di atas yang bersifat mikro, tetapi terperinci juga dapat mengetahui beberapa lembaga legislatif yang hidup pada masa tersebut. Selain itu mengetahui sebab-sebab pembubaran lembaga legislatif, masalah-masalah yang terjadi di sekitar lembaga legislatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi peranan lembaga legislatif di Indonesia pada masa-masa tersebut.
Lembaga Legislatif di Indonesia 2
Kegiatan belajar ini menggambarkan peranan lembaga legislatif di Indonesia pada masa Pemerintahan Soeharto dan Pasca-Soeharto. Baik pada masa Pemerintahan Soeharto dan Pasca-Soeharto, Indonesia kembali menganut UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Bahkan pada masa Pemerintahan Soeharto, bertekad ingin melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai bentuk perubahan atas penyimpangan yang dilakukan pemerintahan sebelumnya.
Kembalinya Indonesia menganut UUD 1945 sebagai konstitusi berarti dipakainya sistem pemerintahan presidensil. Kabinet yang dibentuk merupakan kabinet presidensil sehingga kabinet bertanggung jawab pada presiden dan bukan pada parlemen. Kedudukan Presiden pun sejajar dengan parlemen (DPR) dan keduanya tidak bisa saling menjatuhkan walaupun DPR diberi hak untuk mengawasi tindak-tanduk presiden.
Apabila dilihat dari konstitusi yang ada, sebenarnya DPR dapat berfungsi maksimal. Namun, pada masa Pemerintahan Soeharto, DPR dapat dikatakan hanya sebagai stempel bagi kekuasaan eksekutif (presiden). Bahkan presiden dapat leluasa mengeluarkan segala macam peraturan dan ketetapan tanpa mendiskusikannya dengan DPR. Dengan melihat perjalanan dan peranan DPR masa Pemerintah Soeharto, akhirnya disadari bahwa konstitusi UUD 1945 juga memiliki kelemahan. Dalam UUD 1945 banyak kekuasaan yang seharusnya dimiliki oleh legislatif dan yudikatif, namun sah juga dimiliki oleh eksekutif. Begitu juga dengan adanya pengangkatan anggota DPR oleh presiden. Pengangkatan anggota DPR bukannya menjadikan anggota tersebut mengawasi presiden, bahkan anggota DPR merasa berterima kasih kepada yang mengangkatnya (presiden).
Maka itu pasca-Soeharto, peran anggota DPR untuk tercipta keseimbangan antarlembaga negara adalah dengan mengamandemen UUD 1945. Pembahasan tentang peran lembaga legislatif pasca-Soeharto amat menarik. Hal ini disebabkan karena DPR sering melampaui kewenangan dan urusan pemerintahan (eksekutif). Dengan demikian muncul istilah legislative heavy yang merupakan kebalikan dari Pemerintahan Soeharto, yakni executive heavy. Sebenarnya baik legislative heavy maupun executive heavy merupakan dua hal yang sama buruknya bagi pengembangan demokrasi karena menafikan hakikat checks and balances. Peran yang berlebihan pada suatu lembaga politik negara dapat mengarah pada kecenderungan terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
LEMBAGA EKSEKUTIF, BIROKRASI, DAN MILITER DI INDONESIA
Lembaga Eksekutif di Indonesia
Di dalam Demokrasi Parlementer, kedudukan lembaga eksekutif sangat dipengaruhi oleh lembaga legislatif. Hal ini terjadi karena lembaga eksekutif bertanggung jawab kepada lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif memiliki kedudukan yang kuat dalam mengontrol dan mengawasi fungsi dan peranan lembaga eksekutif. Dalam pertanggungjawaban yang diberikan lembaga eksekutif maka para anggota parlemen dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada eksekutif jika tidak melaksanakan kebijakan dengan baik. Apabila mosi tidak percaya diterima parlemen maka lembaga eksekutif harus menyerahkan mandat kepada Presiden.
Di masa Demokrasi Terpimpin, peranan lembaga eksekutif jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan peranannya di masa sebelumnya. Peranan dominan lembaga eksekutif tersentralisasi di tangan Presiden Soekarno. Lembaga eksekutif mendominasi sistem politik, dalam arti mendominasi lembaga-lembaga tinggi negara lainnya maupun melakukan pembatasan atas kehidupan politik. Partai politik dibatasi dengan hanya memberi peluang berkembangnya partai-partai berideologi nasakom.
Di masa Demokrasi Pancasila atau Orde Baru, kedudukan lembaga eksekutif tetap dominan. Dominasi kedudukan eksekutif ini pada awalnya ditujukan untuk kelancaran proses pembangunan ekonomi. Untuk berhasilnya program pem-bangunan tersebut diperlukan stabilitas politik. Eksekutif memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan lembaga legislatif maupun yudikatif. Pembatasan jumlah partai politik maupun partisipasi masyarakat ditujukan untuk menopang stabilitas politik untuk pembangunan dan kuatnya kedudukan lembaga eksekutif di bawah Presiden Soeharto.

sosiologi pendidikan

  1. Pengertian sosiologi pendidikan
Sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata, sosiologi dan pendidikan. Kedua istilah ini dari segi etimologi tentu saja berbeda maksudnya, namun dalam sejarah hidup dan kehidupan serta budaya manusia, kedua ini menjadi satu kesatuan yang terpisahkan. Terutama dalam system memberdayakan manusia, dimana sampai saat ini memanfaatkan pendidikan sebagai instrument pemberdayaan tersebut11.
Beberapa pemikiran pakar mengenai sosiologi pendidikan yang dikemukakan oleh Ahmadi (1991). Menurut George Payne, yang kerap disebut sebagai bapak sosiologi pendidikan, mengemukakan secara konsepsional yang dimaksud dengan sosiolgi pendidikan adalah by educational sosiologi we the science whith desribes andexlains the institution, social group, and social processes, that is the spcial relationships in which or through which the individual gains and organizes experiences”. Payne menegaskan bahwa, di dalam lembaga-lembaga, kelompok-kelompok social, proses social, terdapatlah apa yang yang dinamakan social itu individu memproleh dan mengorganisir pengalamannya-pengalamannya. Inilah yang merupaka asepek-aspek atau prinsip-prinsip sosiologisnya.
Charles A. Ellwood mengemukakan bahwa Education Sosiologi is the sciense aims to reveld the connetion at all points between the cdukative process and the social, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses social.
Menurut E.B Reuter, sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisa evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia, dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh dari lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian social dari tiap-tiap individu. Jadi perinsipnya antara individu dengan lembaga-lembaga social itu selalu saling pengaruh mempengaruhi (process social interaction).
F.G Robbins dan Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan social yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalamannya. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakukan social serta perinsip-perinsip untuk mengontrolnya.
E.G Payne secara spesifik memandang sosiolgi pendidikan sebagai studi yang konfrenhensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu yang diterapkan. Bagi Payne sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi segala sesuatu dalam bidang sosiologi yang dapat dikenakan analisis sosiologis. Tujuan utamanya ialah memberikan guru-guru, para peneliti dan orang lain yang menaruh perhatian akan pendidikan latihan yang serasi dan efektif dalam sosiologi yang dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang pendidikan (Nasution 1999:4)
Menurut Dictionary of Socialogy, sosiologi pendidikan ialah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Menurut Prof. DR.S.Nasution. Sosiologi pendidikan ialah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
Menurut F.G. Robbins, Sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang bertugas menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidika.
Menurut penulis, Sosiologi pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dengan berbagai definisi tersebut diatas menunjukkan bahwa sosiologi pendidikan merupakan bagian dari matakuliah-matakuliah dasar-dasar kependidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan sifatnya wajib diberikan kepada seluruh peserta didik.
  1. Tujuan sosiologi pendidikan
Francis Broun mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan memperhatikan pengaruh keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat dan cara individu memproleh dan mengorganisasi pengalamannya. Sedang S. Nasution mengatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah Ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk memproleh perkembangan kepribadian individu yang lebih baik. Dari kedua pengertian dan beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat disebutkan beberapa konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan, yaitu sebagai berikut:

  1. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatiakan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak. Misalnya, anak yang terdidik dengan baik dalam keluarga yang religius, setelah dewasa/tua akan cendrung menjadi manusia yang religius pula. Anak yang terdidik dalam keluarga intelektual akan cendrung memilih/mengutamakan jalur intlektual pula, dan sebagainya.
  2. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis perkembangan dan kemajuan social. Banyak orang/pakar yang beranggapan bahwa pendidikan memberikan kemungkinan yang besar bagi kemajuan masyarakat, karena dengan memiliki ijazah yang semakin tinggi akan lebih mampu menduduki jabatan yang lebih tinggi pula (serta penghasilan yang lebih banyak pula, guna menambah kesejahteraan social). Disamping itu dengan pengetahuan dan keterampilan yang banyak dapat mengembangkan aktivitas serta kreativitas social.
  3. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis status pendidikan dalam masyarakat. Berdirinya suatu lembaga pendidikan dalammasyarakat sering disesuaikan dengan tingkatan daerah di mana lembaga pendidikan itu berada. Misalnya, perguruan tinggi bisa didirikan di tingkat propinsi atau minimal kabupaten yang cukup animo mahasiswanya serta tersedianya dosen yang bonafid.
  4. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis partisipasi orang-orang terdidik/berpendidikan dalam kegiatan social. Peranan/aktivitas warga yang berpendidikan / intelektual sering menjadi ukuan tentang maju dan berkembang kehidupan masyarakat. Sebaiknya warga yang berpendidikan tidak segan- segan berpartisipasi aktif dalam kegiatan social, terutama dalam memajukan kepentingan / kebutuhan masyarakat. Ia harus menjadi motor penggerak dari peningkatan taraf hidup social.
  5. Sosiologi pendidikan bertujuan membantu menentukan tujuan pendidikan. Sejumlah pakar berpendapat bahwa tujuan pendidikan nasional harus bertolak dan dapat dipulangkan kepada filsafat hidup bangsa tersebut. Seperti di Indonesia, Pancasila sebagai filsafat hidup dan kepribadian bangsa Indonesia harus menjadi dasar untuk menentukan tujuan pendidikan Nasional serta tujuan pendidikan lainnya. Dinamika tujuan pendidikan nasional terletak pada keterkaitanya dengan GBHN, yang tiap 5 (lima) tahun sekali ditetapkan dalam Sidang Umum MPR, dan disesuaikan dengan era pembangunan yang ditempuh, serta kebutuhan masyarakat dan kebutuhan manusia.
  6. Menurut E. G Payne, sosiologi pendidikan bertujuan utama memberi kepada guru- guru (termasuk para peneliti dan siapa pun yang terkait dalam bidang pendidikan) latihan – latihan yang efektif dalam bidang sosiologi sehingga dapat memberikan sumbangannya secara cepat dan tepat kepada masalah pendidikan. Menurut pendapatnya, sosiologi pendidikan tidak hanya berkenaan dengan proses belajar dan sosialisasi yang terkait dengan sosiologi saja, tetapi juga segala sesuatu dalam bidang pendidikan yang dapat dianalis sosiologi. Seperti sosiologi yang digunakan untuk meningkatkan teknik mengajar yaitu metode sosiodrama, bermain peranan (role playing) dan sebagainya.dengan demikian sosiologi pendidikan bermanfaat besar bagi para pendidik, selain berharga untuk mengalisis pendidikan, juga bermanfaat untuk memahami hubungan antara manusia di sekolah serta struktur masyarakat. Sosiologi pendidikan tidak hanya mempelajari masalah – masalah sosial dalam pendidikan saja, melainkan juga hal – hal pokok lain, seperti tujuan pendidikan, bahan kurikulum, strategi belajar, sarana belajar, dan sebagainya. Sosiologi pendidikan ialah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola- pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Jika dilihat zaman peradaban yunani pada masa Plato (427-327 BC), pendidikannya lebih mengutamakan penciptaan manusia sebagai pemikir, kemudian sebagai ksatria dan penguasa. Pada zaman Romawi, seperti masa kehidupan Cicero (106-43 BC),2 pendidikan mengutamakan penciptaan manusia yang hmanistis. Pada abad pertengahan, pendidikan mengutamakan menjadikan manusia sebagai pengabdi Khalik (baik versi Islam maupun versi Kristiani). Pada abad pertengahan (1600-an-1800-an), melahirkan teori Nativisme (Rousseau, 1712-1778), Empirisme oleh Locke (1632-1704) dan konvergensi oleh Stern (1871-1939). Semuanya cendrung kepada nilai individu anak sebagai manusia yang memiliki karakteristik yang unik.
Menurut Nasution (1999:2-4) ada beberapa konsep tentang tujuan Sosiologi Pendidikan, antara lain sebagai berikut:
  1. analisis proses sosiologi (2) analisis kedudukan pendidikan dalam masyarakat, (3) analisis intraksi social di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat, (4) alat kemajuan dan perkembangan social, (5) dasar untuk menentukan tujuan pendidikan, (6) sosiologi terapan, dan (7) latihan bagi petugas pendidikan.
Konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berintraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Namun demikian, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan bentuk lain dari pola budaya yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Pendidikan tugasnya tentu saja memberi penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi, apakah fenomena tersebut merupakan sesuatu yang harus terjadi, dan bagaimana mengatasi segala implikasi yang bersifat buruk dari berkembangnya fenomena tersebut, sekaligus memelihara implikasi dari berbagai fenomena yang ada.
Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri. Secara universalm tujuan dan fungsi pendidikan itu adalah memanusiakan manusia oleh manusia yang telah memanusia. Itulah sebabnya system pendidikan nasional menurut UUSPN No. 2 Tahun 1989 pasal 3 adalah “ untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujaun nasional”. Menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalan: (1) untuk mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, (2) meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesiam (3) meningkatkan martabat manusia Indonesia, (4) mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-masusia Indonesia. Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan untuk manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri,mmeningkatkan mutu kehidupan, meninggikan martabat dalam ragka mencapai tujuan nasional.
Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berpradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggungjawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan agama (Tilaar, 1999). Dengan demikian proses pendidikan yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang segaris dengan upaya-upaya pencapaian masyarakat madani tersebut.
Menurut pandangan Nurcholis Majid mengemukakan bahwa masyarakat madani itu adalah masyarakat yang berindikasi seperti termaktub dalam piagam madinah pada zaman Rasulullah Muhammad SAW (Tilaar, 2000).
Saat ini kita mengalami perubahan yang begitu cepat dan drastic, sehingga terjadi perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat berbagai nilai yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Langgulung (1993:389) “kelompokpertama melihat nilai-nilai lama mulai runtuh sedangkan nilai-nilai baru belum muncul yntuk menggantikan yang lama, sedang kelompok kedua melihat keruntuhan nilali-nilai lama itu, tetapi dalam waktu yang bersamaan dapat melihat bagaimana nilai-nilai lama itu, menyelinap masuk kedalam nilai-nilai baru dan membantu menegakkannya”.
Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat bukan berarti tidak terperhatikan oleh masyarakat. Namun dalam memperhatikan nilali-nilai yang berkembang tersebut, arah yang menjadi anutan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidaklah sama. Tidak semua masyarakat secara terarah memahami arah dan tujuan hidup secara benar. Arah dan tujuan yang benar menurut Mulkham (1993:195) adalah “secara garis besar arah dan tujuan hidup manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap. Tahap pertama, mengenai kebenaran, tahap kedua, memihak kepada kebenaran dan tahap terakhir adalah berbuat ikhsan secara dan secara individual maupun social yangb terealisasi dalam laku ibadah”.
Sampai saat ini pendidikan dianggap dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif dalam menyadarkan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas dan masyarakat. Pendidikan akan mengembangkan kecerdasan dan penguasaan ilmu pengetahuan, pada sisi yang lain agama akan semakin popular dan terinternalisasi dalam diri setiap pemeluknya, jika diberikan melalui pendidikan.
Masyarakat sebagai ruang lingkup pembahasan sosiologi pendidikan
Sosiologi disebut juga sebagai ilmu Masyarakat atau ilmu yang membicarakan masyarakat., maka perlu diberikan pengertian tentang masyarakat. Berikut ini adalah pengertian yang diberikan oleh beberapa pakar sosiologi:

  1. Masyarakat merupakan jalinan hubungan social, dan selalu berubah. (Mac Iver dan Page).
  2. Masyarakat adalah kesatuan hidup makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu system adat istiadat tertentu. (Koentjaraningkat).
  3. Masyarakat adalah tempat orang-orang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaa. (Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi).
Menurut Soerjono Soekanto, ada 4 (empat) unsure yang terdapat dalam masyarakat, yaitu:
  1. Adanya manusia yang hidup bersama, (dua atau lebih)
  2. Mereka bercampur untuk waktu yang cukup lama, yang menimbulkan system komunikasi dan tata cara pergaulan lainnya.
  3. Memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan
  4. Merupakan system kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan.
Komunitas (communiti) adalah suatu daerah/wilayah kehidupan social yang ditandai oleh adanya suatu derajat hubungan social tertentu. Dasar dari suatu komunitas adalah adanya lokasi (unsure tempat) dan perasaan sekomunitas. (Mac Iver dan Page).
Contohnya: 1). Komunitas yang sangat besar adalah Negara, persekutuan Negara-negara. 2). Komunitas yang besar, adalah kota, dan 3). Komunitas kecil adalah desa pertanian, rukun tetangga, dan sebagainya.

materi sosiologi


1. Pandangan tentang Sosiologi Politik
Apa yang dimaksud dengan Sosiologi Politik? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan para pakar sosiologi politik, yang sulit disatukan. Setidaknya ada dua pandangan tentang sosiologi politik yang cukup menonjol. Pandangan yang satu melihat sosiologi politik sebagai studi tentang negara. Sedangkan pandangan yang lain menjelaskan sosiologi politik sebagai studi tentang kekuasaan.
  1. Sosiologi Politik sebagai studi tentang negara
Di sini kata “politik” dipakai dalam konotasinya yang biasa, yaitu yang berhubungan dengan negara. Kata “negara “ mengacu pada kategori khusus dari kelompok-kelompok manusia atau masyarakat. Terdapat dua arti negara yang patut diperhatikan. Pertama, negara bangsa (nation-state), yang mengacu pada masyarakat nasional. Yang dimaksud adalah komunitas yang muncul pada akhir abad pertengahan, yang dewasa ini kuat terorganisir sekaligus paling utuh berintegrasi. Kedua, negara pemerintah (government-state), yang mengacu pada penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional tersebut.
  1. Sosiologi Politik sebagai studi tentang kekuasaan
Menurut pengertian yang lebih modern, sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam masyarakat nasional. Konsep ini pada dasarnya, memfokuskan pada perbedaaan antara pemerintah dan yang diperintah. Dalam setiap kelompok manusia, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar, mulai dari yang rapuh hingga yang paling stabil terdapat orang yang memerintah dan mereka yang mematuhinya, terdapat mereka yang membuat keputusan dan orang-orang yang menaati keputusan yang bersangkutan. Perbedaaan tersebut merupakan fenomena politik yang fundamental yang dijelaskan melalui studi perbandingan pada setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial.
Kedua konsep di atas tidak dengan sendirinya memperjelas pengertian sosiologi politik. Terdapat dua tafsiran umum tentang politik. Di satu pihak, politik secara hakiki dipandang sebagai pergolakan, pertempuran. Kekuasaan memungkinkan kelompok-kelompok dan individu yang berkuasa mempertahankan dominasi terhadap masyarakat dan mengeksploitasinya. Sedangkan kelompok dan individu yag lain menentang dominasi dan tidak eksploitatif tersebut. Di sini politik merupakan sarana untuk mempertahankan hak-hak istimewa kelompok minoritas dari dominasi kelompok mayoritas. Di lain pihak, politik dipandang sebagian suatu usaha untuk mengakkan ketertiban dan keadilan. Disini kekuasaan dipakai untuk mewujudkan kemakmuran bersama dan melindungi kepentingan umum dari tekanan kelompok-kelompok tertentu.  Politik merupakan sarana untuk mengintegrasikan setiap orang ke dalam komunitas dan menciptakan keadilan seperti yang dicta-citakan oleh Aristoteles.
Di dalam kenyataan, apa yang disebut politik itu senantiasa ambivalen. Di satu sisi, kekuasaaan dijadikan alat untuk mendominasi orang atau pihak lain. Di sisi yang lain, kekuasaan dijadikan sarana untuk menjamin ketertiban sosial tertentu atau sebagai alat pemersatu. Kedua paham ini merupakan dasar teoritis bagi pembicaraan tentang sosiologi politik. Namun perlu dicatat, bahwa tidak ada suatu teori umum tentang sosiologi politik yang dapat diterima oleh semua sarjana terkait.  Oleh karena itu merumuskan teori umum tentang sosiologi politik merupakan tantangan sekaligus peluang bagi sarjana sosiologi politik kontemporer.
2. Titik Pandang Sosiologi Politik
Titik pandang yang dimaksudkan di sini adalah sudut pandang atau pendekatan, metode yang dipakai oleh para ahli sosiologi politik untuk mempelajari masalah-masalah yang menjadi objek perhatian mereka. Umumnya para ahli sosiologi politik mempelajari masalah-masalah seperti berikut :
  1. Kondisi – kondisi apakah yang menimbulkan tertib politik atau kekacauan politik dalam masyarakat?
  2. Mengapa sistem-sistem politik tertentu dianggap sah atau tidak sah oleh warga negara?
  3. Mengapa sistem-sistem politik tertentu stabil, sedangkan yang lainnya tidak ?
  4. Mengapa ada pemerintahan yang demokratis, dan mengapa ada yang totaliter? Mengapa pula ada pemerintahan yang merupakan kombinasi antara keduanya.
  5. Faktor –faktor apakah yang menyebabkan variasi pada sistem kepartaian, taraf partisipasi politik, dan angka rata-rata pemilihan suara?
Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, dipergunakan berbagai cara pendekatan histeris, pendekatan komparatif, institusional, dan pendekatan histories, pendekatan komparatif, instituusional, dan pendekatan behavioral. Melalui pendekatan histories kita berusaha mencari karya para ahli sosiologi politik klasik untuk menemukan konsern-konsern dan minat-minat tradisional dari sosiologi politik sebagai suatu dsiplin intelektual. Dengan cara ini kita bisa menemukan bagaimana jawaban-jawaban mereka atas permasalahan-permasalahan yang kita hadapi. Dengan kata lain, pendekatan ini memberikan suatu perspektif yang diperlukan bagi studi-studi yang sama, baik dalam pengertian kontekstual maupun temporal. (Maran, 2001)
Melalui pendekatan komparatif kita mempelajari gejala-gejala sosial politik dari suatu masyarakat tertentu untuk menyoroti fenomena yang kita hadapi. Pendekatan semacam ini dipergunakan antara lain oleh Ostogorski dan Michel dalam studi mereka tentang partai-partai politik, dan diterapkan pada studi lingkungan oleh Almond dan kawan-kawan beserta Lipset. ( Rush dan Althoff, 2002)
Kedua pendekatan tersebut tidak dipersoalkan. Yang sering dipersoalkan adalah pendekatan institusional. Pendekatan ini diangap tidak memadai dan realistis, sebab studi ini mengabaikan realitas tingkah laku politik. Masalahnya ialah, bahwa pendekatan ini mengkonsentrasikan diri pada faktor-faktor konstitusional dan legalistik. Dengan kata lain, institusi-institusi sosial atau lembaga-lembaga sosial merupakan unit dasar analisis. Dengan demikian orang memberikan tekanan yang berlebihan pada pandangan bahwa tingkah laku politik itu selalu berlangsung dalam kerangka institusional. ( Alex Inkeles dalam Maran, 2001). Pakar sosiologi politik berusaha menyingkirkan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat pada pendekatan – pendekatan lainnya. Pendekatan behavioral menggunakan individu sebagai dasar dari analisis. Di sini fakta dan nilai dipisahkan, dan orang membuat generalisasi berdasarkan prinsip verifikasi.
Pendekatan ini dikritik berdasarkan dua alasan, pertama, para pengguna pendekatan ini dianggap terlalu kaku dalam melakukan analisis politik dan sosial. Sikap kaku dipertahankan demi standar-standar yang tinggi yang dipentingkan dalam pendekatan ini. Kedua, pendekatan ini mengabaikan segi-segi yang merupakan kelebihan dari pendekatan-pendekatan lain. Padahal tidak ada satu pendekatan yang paling baik sempurna. Bagaimanapun setiap pendekatan adalah parsial. Karena itu berbagai pendekatan itu bisa saling melengkapi. Dengan demikian dapat diperoleh suatu pengetahuan yang lebih utuh, misalnya tentang suatu fenomena sosial politik.
Dalam bidang sosiologi politik terkenal teori sistem, yang beranggapan bahwa gejala sosial merupakan bagian dari pola tingkah laku yang konsisten, internal, dan reguler, dapat dilihat dan dibedakan. Inilah yang disebut sistem sosial yang terdiri dari subsistem-subsistem yang paling saling bergantung, seperti halnya kaitan antara ekonomi dan politik. Salah satu tokoh terkemuka dalam teori sistem adalah Talcott Parsons yang menulis buku The Social System (1951). Parsons dan kawan-kawan, khususnya Marion Levy dan Robert K. Merton mengembangkan pendekatan fungsional, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan fungsionalisme-struktural. Menurut pandangan ini struktur-struktur sosial yang menentukan peranan-peranan dengan pola-pola perilaku yang tetap, yang oleh masyarakat diharapkan dari seorang dokter, politisi, petani, ibu rumah tangga, orang beragama, warga negara, dan sebagainya.( Veeger, 1985).
Namun fungsionalisme struktural pun tidak luput dari kritik serta kecaman, karena dianggap tidak mampu secara tepat memperhitungkan perubahan yang sistematik; dan secara idiologis jadi bias, karena menjurus pada arah yang statis atau pada konservatisme. Alternatif bagi fungsionalisme struktural ditawarkan oleh David Easton yang menulis buku The Political System. A. Framework for Political Analistical and A Sistem Analysis of Political Life (1965). Alternatif yang dimaksud berupa analisis input-output. Secara khusus Easton memperhatikan masalah bagaimana caranya suatu sistem politik bisa bertahan hidup dan faktor-faktor apakah yang menyebabkan perubahannya.
Metode yang sering diandalkan dalam studi sosiologi politik adalah metode kuantitatif. Termasuk di sini penggunaan survei-survei statistik dan pengumpulan-pengumpulan data, seperti yang digunakan pada studi-studi tentang ekologi politik. Para ahli sosiologi politik berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan wawasan melalui survei-survei dan wawancara intensif.
Penggunaan teori-teori dan model-model tentu saja sangat diperlukan untuk memperoleh garis-garis pedoman bagi penelitian dan untuk menghasilkan penjelasan-penjelasan yang memadai tentang gejala-gejala atau masalah – masalah yang sedang dipelajari. Di sini teori dipakai sebagai suatu perlengkapan heuristik untuk mengorganisir segala sesuatu yang kita ketahui, atau segala sesuatu yang kita duga kita ketahui, pada suatu waktu tertentu, kurang lebih mengenai suatu pertanyaan atau isu yang diajukan secara eksplisit. (Veeger, 1985). Dengan model tersebut maka dapat diketahui tentang konsepsi umum tentang alam, dunia  dimana seorang ilmuwan bekerja, suatu gambar mental tentang “bagaimana dunia itu disatukan dan bagaimana dunia itu bekerja“. Di sini istilah model mengacu pada suatu gambaran yang lebih umum tentang kerangka utama dari suatu fenomena utama, yang mencakup ide-ide utama tentang hakikat dari unit-unit yang mencakup dan pola relasi-relasi